Klikpos.net/Cibinong – Hakikat Isra Mi’raj Nabi Muhammad adalah persaudaraan sementara inti dari pemberdayaan adalah partisipasi masyarakat.
Demikian dikatakan Profesor Dr.Owin Jamasy, M.Hum., M.M., Ph.D., saat menjadi pembicara dalam kegiatan Memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan Peresmian Kantor Sekretariat Al Masthuriyah (MTAA) Sekaligus Santunan Anak Yatim dan Dhuafa di Pondok Rajeg, Cibinong Kabupaten Bogor, Sabtu 12 Maret 2022.
Dalam kegiatan yang mengangkat tema “Mari Jadikan Energi Isra Mi’raj untuk Memupuk Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah dan Insaniyah” tersebut Owin Jamasy menguraikan bahwa hakikat Isra adalah persaudaraan.
Hal tersebut terlihat dari perjalanan persaudaraan Isra Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sedangkan Mi’raj juga merupakan perlambang persaudaraan dari orang yang masih hidup dengan yang sudah meninggal mengingat dalam kisahnya Nabi Muhammad saat Mi’raj bertemu dengan roh para nabi.
“Oleh karena itu dalam peringatan Isra Mi’raj kali ini kita menangkat tema persaudaraan yakni, Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah dan Insaniyah,” tutur Owin Jamasy.
Profesor Dr.Owin Jamasy, M.Hum., M.M., Ph.D., merupakan seorang akademisi yang juga berprofesi sebagai peneliti dan akademisi.
Profesi peneliti dirintisnya sejak tahun 1987 saat dia menjadi peneliti di Laboratorium Sosiologi UI, Forum Kajian Filsafat UI, dan Laboratorium Ilmu dan Pengkajian Pembangunan Indonesia di Sukabumi.
Sebagai akademisi, Profesor Owin Jamasy Djamaludin sekarang menjadi dosen di Asia e University (AeU) di Malaysia dan juga dosen di sebuah universitas di Malaysia.
Selain akademisi, Profesor Owin Jamasy juga menjadi staf ahli di beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri untuk bidang community empowering dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk lahan gambut sungai dan danau.
Usai mengisi pengajian, dalam wawancara khusus, Owin Jamasy menerangkan konsepnya tentang pemberdayaan masyarakat.
Dikatakan, bermula dari pada tahun 1999 semasa lulus S2 Filsafat UI saat dia menulis buku berjudul “Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan”, yang dilatarbelakangi kepemimpinan Presiden Soeharto yang dinilainya lebih ke dominasi pembangunan fisik.
“Pembangunan fisik itu memang berhasil tetapi sebenarnya yang namanya pembangunan seharusnya dimulai dari otak berupa pengetahuan atau knowledge kemudian skill sampai ke manajerialnya, itulah yang disebut dengan konsep pemberdayaan,” tuturnya.
Ketika nomenklatur pembangunan itu mulai redup, kata dia, maka istilahnya kemudian diganti dengan pemberdayaan yang berarti memperkuat mulai dari knowledge, skill sampai ke manajerial.
Oleh karena itu, kata dia, kalau sekarang ada pembangunan di desa maka harus melalui rapat dulu, tidak boleh asal membangun.
“Ini karena ada amanat undang-undang yaitu membangun manusia seutuhnya. Utuhnya itu apa? Utuh otaknya, utuh ketrampilannya, panca indranya dan utuh manajerialnya. Nah itulah saya buat buku tahun 2021 diterbitkan dan habis dalam waktu 3 bulan sebanyak 1.500 eksemplar. Bahkan yang beli pertama 20 eksemplar itu adalah Timor Leste dan sekarang ditaruh di Australian National University,” tandasnya.
Meski demikian Owin Jamasy mengakui bahwa di era Presiden Jokowi pun kecenderungan pembangunan fisik tetap terjadi. Hanya saja hal tersebut ada pada bidang yang tidak bisa terlalu dimusyawarahkan dengan masyarakat, seperti pembangunan tol laut dan lainnya.
“Yang sekarang kita bangun itu BUMDes karena sekarang tidak ada bantuan langsung ke desa tetapi melalui BUMDes, kecuali dana desa. Dana desa itu sendiri maksudnya untuk desa membangun, jadi desa merancang, melakukan kegiatan, sehingga ada partisipasi masyarakt meskipun masih ada dominasi di aparat. Saya sendiri di Pusat membuat kuliah umum tentang pemberdayaan dan obrolan akademis bekerja sama dengan beberapa lembaga. Semuanya gratis buat siapa saja yang mau ikut,” tandasnya.
Lebih jauh menurut Owin Jamasy, prinsip pemberdayaan adalah partisipasi, tetapi tingkatan partisipasi itu sekurangnya ada lima tingkatan.
Pertama partisipasi yang paling rendah adalah menikmati, misal pemda membangun kemudian masyarakat menikmati itupun disebut partispasi meskipun sebagai penikmat.
Kedua, ada pembangunan oleh perusahaan kemudian masyarakat jadi tukang, ini partisipasi pada tahap pelaksanaan.
Ketiga, partisipasi pada tahap pemanfaatan dan keempat pemeliharaan, ini tingkat partisipasi yang sudah mulai bagus.
“Kelima, partisipasi yang paling bagus dan yang diharapkan sekarang adalah tahap perencanaan termasuk melakukan pengambilan keputusan, jangan sampai pengambil keputusan itu Pemerintah Pusat,” tandasnya.
Jadi, kata dia, kalau suatu proses pembangunan itu masih dalam tahap partisipasi rendah itu tidak masalah karena karena partisipasi memang ada levelnya.
“Yang tidak boleh adalah membiarkan masyarakat menjadi penikmat terus sehingga kemandiriannya ini terpasung. Itu yang terpenting,” tandasnya.
Lebih jauh Owin Jamasy menyebutkan ada tiga hal pentingmenyangkut pemberdayaan, yakni; enabling, empowering dan protecting.
“Enabling itu kita mengira-ngira jangan sampai nanti ada yang terdiskiriminasi. Jadi kalau memang ada sesuatu ya harus diangkat. Lalu ada lagi yang namanya empowering pemberdayaan dan yang ketiga protecting yakni adanya perlindungan jangan sampai ada yang lemah semakin lemah dan yang kaya semakin kaya sehingga timbul jurang pemisah, dan ini harus diprotek. Itulah prinsip-prinsip pemberdayaan,” ujar Owin Jamasy mengakhiri. (Taufik BS)
Alhamdulillah ada alumni Almasth yg sdh jadi profesor seperti pa Owin ini, semoga bisa menularkan ilmunya kepada alumni almasth yg lainnya.
Alhamdulillah.